Pages

Wednesday, June 8, 2011

Aku rindu, aku rindu, aku rindu...


Alhamdulillah..alhamdulillah..alhamdulillah segala puji bagi Allah kerana dengan limpah dan rahmatnya sehingga kini kita dipanjangkan umur, dikurniakan dengan pelbagai nikmat yang tak terkira banyaknya dan nikmat yang terbesar sekali adalah nikmat islam dan nikmat iman. 

Pernahkah kita mengeluh wahai ikhwah dan akhwat, mengeluh kerana terasa terbeban?
Pernahkah kita terasa seperti mahu saja berhenti atau tarik diri dari kerja-kerja ini semua?

Tentu sekali kita tidak terlepas dari merasai itu semua. Dan suka untuk saya ingatkan kalian terutamanya ingatan buat diri sendiri juga bahawa kitalah insan yang terpilih itu. Allah telah memilih kita untuk memikul semua bebanan dan tugas-tugas itu. Maka, beruntunglah kita wahai insan yang terpilih ini. Ingatlah kalian bahawa jika kita menolak siapa lagi yang harus diharapkan?

Adakah kita mahu terus menerus membiarkan keadaan bumi yang semakin tenat ini dengan pelbagai penyakit ciptaan manusia?

Makanya, marilah kita sama-sama memuhasabah diri, kenang kembali saat diri mula-mula dilanggar tarbiyah. Saat diri ini terasa bersemangat mengislahkan diri tanpa menghiraukan keadaan sekeliling. Ketika itu hanya satu yang kita cari iaitu redha ILAHI. 

Dan kini setelah lama merasai itu semua, kenapa kini semangat itu semakin hari semakin pudar dan hilang? Tepuk dada tanyalah iman. 

Untuk kali ini saya ingin berkongsi hasil nukilan ustaz KH Rahmat Abdullah tentang rindunya. Dan diharapkan kita juga merindui semua itu. Sama-sama kita hayatinya:

Aku rindu zaman ketika “halaqah” adalah kebutuhan, bukan sekadar sambilan apalagi hiburan.

Kami juga rindu, saat dimana “halaqah” membuncahkan jundi-jundinya, menyebar aroma surgawi, menyambung risalah Nabi, berjibaku mengislah borok-borok duniawi, meski terkadang mereka harus dibayar dengan caci-maki.

Aku rindu zaman ketika “membina” adalah kewajiban, bukan pilihan apalagi beban dan paksaan,
Lebih dari itu kami juga merindu akan lahirnya dai-dai yang merasakan bahwa membina adalah suatu kebutuhan, bukan sekadar penggugur kewajiban apalagi pelengkap syarat lulusnya pentaqwiman.

Aku rindu zaman ketika “dauroh” menjadi kebiasaan, bukan sekedar pelengkap pengisi program yang dipaksakan
Begitu pun dengan kami, lelah semangat dan pikiran akibat terlalu banyak “keluyuran”, moga bisa segera disembuhkan, dengan banyak mengkaji dan menambah wawasan

Aku rindu zaman ketika “tsiqoh” menjadi kekuatan, bukan keraguan apalagi kecurigaan.
Kami pun sangat merindu ketika “tsiqoh” tidak bertepuk sebelah tangan; saat ia tumbuh subur direlung husnudzan para pemilik jiwa-jiwa sebening kaca, merekah di kehangatan ukhuwah; dan saat dimana ia menjelma meruntuhkan dzan dan sakwasangka.

Aku rindu zaman ketika “tarbiyah” adalah pengorbanan, bukan tuntutan dan hujatan.
Kami pun rindu, Syaikhona, saat dimana “tarbiyah” merubah pikiran-pikiran picik dan kerdil menjadi terbuka dan bijaksana, menyingkirkan letupan-letupan emosi syaitoni, dan melahirkan jiwa-jiwa berkelimpahan yang tahan banting dan siap meraih “mimpi”.

Aku rindu zaman ketika “nasihat” menjadi kesenangan, bukan su'udzon atau menjatuhkan.
Kami pun rindu, Syaikhona, ketika “nasihat” tidak dianggap sebagai kebencian apalagi manuver untuk menjatuhkan, namun betul-betul saling mengikhlaskan, karena bukankah kita adalah ikhwan (bersaudara)?

Aku rindu zaman ketika kita semua memberikan segalanya untuk da'wah ini
memberikan yang terbaik untuk dakwah ini, bukan sisa-sisa (waktu, tenaga, harta dan pikiran) apalagi menganggapnya sekedar iseng-iseng dan kegiatan sambilan.

Aku rindu zaman ketika “nasyid ghuroba” menjadi lagu kebangsaan.
Kini nasyid-nasyid itu sudah banyak jenis dan ragamnya, Syaikhona, tinggal bagaimana putra-putri dakwah ini menjiwai, memolesnya dengan spirit dan etika islami, menggunakan dan memanfaatkannya untuk meniupkan ruh tarbawi.

Aku rindu zaman ketika hadir di “liqo” adalah kerinduan, dan terlambat adalah kelalaian.
Sama dengan kerinduan kami, Syaikhona, pada saat dimana “absen liqa” adalah suatu kerugian dan membolos adalah aib tarbawi yang harus segera ditobati.

Aku rindu zaman ketika malam gerimis pergi ke puncak mengisi dauroh dengan ongkos ngepas dan peta tak jelas
Kami pun rindu saat aktifitas tarbiyah tak hanya berbuah lelah, dan ketika manuver-manuver dakwah tidak sekedar menghasilkan “ghanimah” namun betul-betul menjelma dan power full dengan spirit “ibadah”. Tentu semua akan terwujud jika selaras dengan koridor aqidah dan gelora tinggi cita-cita dakwah.

Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah benar-benar jalan kaki 2 jam di malam buta sepulang tabligh dakwah di desa sebelah.
Kami pun rindu, Syaikhona, ketika ikhwah pulang ke rumah dengan badan yang udah benar-benar lelah karena berdakwah, namun gelora semangat tidak pernah melemah, dan ibadah tetap terus berghairah.

Aku rindu zaman ketika akan pergi liqo selalu membawa uang infak, alat tulis, buku catatan dan Qur'an terjemahan ditambah sedikit hafalan.
Aku rindu zaman ketika seorang binaan menangis karena tak bisa hadir di liqo.
Aku rindu zaman ketika tengah malam pintu depan diketok untuk mendapat berita kumpul subuh harinya.
Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah berangkat liqo dengan ongkos jatah belanja esok hari untuk keluarganya
Aku rindu zaman ketika seorang murobbi sakit dan harus dirawat, para binaan patungan mengumpulkan dana apa adanya
Aku rindu zaman itu, Aku rindu...

Ya ALLAH, Jangan Kau buang kenikmatan berda'wah dari hati-hati kami.

Jangan Kau jadikan hidup ini hanya berjalan di tempat yang sama.

Karena kami hari ini tak sedang berdiri di episod akhir, tapi kami hanya sedang berdiri di ujung waktu di depan sebuah pintu.....

p/s:untuk diriku, tarbiyah zatiyahmu apa khabar????

1 comments:

husniyah bazlaa said...

ukhti...

aku rindu...aku rindu..rindu juga saat2 itu .. T_T

Post a Comment